Diharamkan Menggauli Isteri Yang Sedang Haid
ADAB-ADAB PERNIKAHAN
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
14. DIHARAMKAN MENGGAULI ISTERI YANG SEDANG HAIDH.
a. Diharamkan mencampuri isteri yang sedang haidh, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu men-jauhkan diri dari wanita di waktu haidh… ” [Al-Baqarah/2: 222].
b. Adapun berdasarkan hadits:
Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya kaum Yahudi, jika salah seorang isteri mereka sedang haidh, mereka tidak makan bersamanya dan tidak tinggal bersama mereka dalam satu rumah. Kemudian para Sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah menurunkan ayat:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh… ” (Al-Baqarah/2: 222), hingga akhir ayat.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ، إِلاَّ النِّكَاحَ.
“Lakukanlah segala sesuatu terhadapnya kecuali menyetubuhinya.”
Ketika hal itu sampai kepada kaum Yahudi, maka mereka mengatakan, “Orang ini tidak ingin membiarkan sedikit pun dari perkara kita kecuali menyelisihi kita dalam perkara tersebut.” Lalu datanglah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr seraya mengatakan: “Wahai Rasulullah, kaum Yahudi mengatakan demikian dan demikian; apakah kita tidak sekalian saja mencampuri mereka (saat sedang haidh). Mendengar hal itu wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah, sehingga kami menyangka bahwa beliau telah marah terhadap keduanya. Ketika kami keluar, mereka berdua telah disambut hadiah susu yang diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau mengikuti di belakang mereka dan memberi mereka minum, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau tidak marah terhadap mereka.[1]
c. Suami boleh mencumbuinya saat sedang haidh selain kemaluannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Syaddad, ia mengatakan: “Aku mendengar Maimunah Radhiyallahu anha berkata: ‘Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mencumbui seseorang dari isterinya, maka beliau memerintahkannya agar memakai kain[2] ketika sedang haidh.’”[3]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Boleh menikmati apa yang berada di atas kain dan apa yang ada di bawahnya. Hanya saja wanita harus mengikatkan kain sarung, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-merintahkan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma agar mengikatkan kain sarung lalu beliau menggumulinya pada saat ia sedang haidh. Beliau memerintahkan untuk mengikatkan kain sarung agar apa yang tidak sukainya tidak terlihat darinya, yaitu bekas darah. Jika suami berkeinginan untuk menikmatinya, misalnya di sekitar paha, maka tidak mengapa.
Jika ditanyakan: ‘Bagaimana anda menjawab sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika ditanya, ‘Apa yang dihalalkan bagi laki-laki terhadap isterinya saat sedang haidh?’ Beliau menjawab:
مَا فَوْقَ اْلإِزَارِ.
‘Apa yang berada di atas kain sarung.’[4]
Ini menunjukkan bahwa apa yang dinikmati hanyalah yang di atas kain sarung saja.
Jawaban atas hal ini ialah sebagai berikut:
(1). Ini dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhi.
(2). Ini kemungkinan berlaku bagi orang yang tidak dapat menahan dirinya; karena sendainya dia dapat menikmati sekitar kedua pahanya, misalnya, maka dia tidak tahan lalu menyetubuhi kemaluannya, baik karena kurangnya (pengetahuan) agamanya atau karena syahwatnya yang kuat.
(3). Ini diberlakukan menurut keadaan yang berbeda-beda. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ.
‘Lakukanlah segala sesuatu kecuali bersetubuh.’[5]
Ini berlaku bagi orang yang mampu menguasai dirinya. Sedangkan sabda beliau:
فَمَا فَوْقَ اْلإِزَارِ.
‘Apa yang berada di atas kain.’[6]
Ini untuk orang yang dikhawatirkan dirinya akan terjerumus ke dalam larangan. Dan dianjurkan bagi wanita untuk mandi janabah. Jika seseorang mencumbui isterinya pada selain kemaluannya, maka ia tidak wajib mandi kecuali jika keluar sperma.”[7]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Sebagian ulama yang ahli mengenai al-Qur-an berkata mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
(فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْض ) ‘Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh.’ Yakni pada tempat keluarnya haidh.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam komentarnya atas Sunan Abi Dawud: “Ayat ini mengandung arti menjauhi semua badan wanita, tetapi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan supaya menjauhi apa yang di bawah kain sarung dan membolehkan apa yang di atasnya.”
15. KAFFARAT (DENDA) ORANG YANG MENCAMPURI ISTERI YANG SEDANG HAIDH.
Ash-habus Sunan meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang mencampuri isterinya saat sedang haidh, maka beliau menjawab:
يَتَصَدَّقَ بِدِيْنَارٍ أَوْنِصْفِ دِيْنَارٍ.
“Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.”[8]
Abu Dawud berkata: “Aku mendengar Ahmad di tanya tentang seseorang yang mendatangi isterinya saat sedang haidh. Ia menjawab: ‘Betapa bagusnya hadits ‘Abdul Hamid mengenai hal itu.’ Aku bertanya: ‘Apakah engkau sependapat?’ Ia menjawab: ‘Ya, sesungguhnya itu hanyalah kaffarat (denda).’ Aku bertanya: ‘Satu dinar atau setengah dinar?’ Ia menjawab: ‘Sesukanya.’”[9]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi wanita yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya.”[10]
16. KAPAN DIBOLEHKAN MENCAMPURINYA SETELAH BERSIH?
Jika wanita telah bersih dari haidhnya dan darah telah berhenti darinya, maka suami boleh mencampurinya setelah ia mencuci tempat keluarnya darah (kemaluan) dari darah tersebut saja, atau berwudhu’ atau mandi. Mana saja yang wanita melakukannya, maka suami boleh menggaulinya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“… Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah me-nyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Al-Baqarah/: 222]. [11]
Adapun pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, maka dia mengatakan: “Jika ditanyakan: ‘Apakah boleh menyetubuhinya?’”
Jawabannya: Tidak boleh. Dalil atas hal ini ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“… Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu… ” [Al-Baqarah/2: 222].
Apabila ditanyakan: “Jika seorang wanita menanggung jana-bah, (apakah) ia boleh dicampuri sebelum mandi. Demikian pula wanita ini (yang telah bersih dari haidhnya tetapi belum mandi)?
Jawaban: Ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Tetapi kita katakan bahwa yang dimaksud dengan bersuci di sini ialah bersuci dari hadats, dan ini tidak terjadi kecuali dengan mandi. Dalil atas hal itu ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“… Dan jika kamu junub, maka mandilah… ” [Al-Maa-idah/5: 6].
Dan firman Allah:
وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
“… Tetapi Dia hendak membersihkanmu… ” [Al-Maa-idah/5: 6).[12]
Tetapi kita semua harus tahu bahwa suci itu mempunyai banyak arti, di antaranya:
a. Mencuci kemaluan dengan air; berdasarkan turunnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“… Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin mem-bersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” [At-Taubah/9: 108].
Diriwayatkan secara shahih, bahwa ketika ayat ini turun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada penduduk Quba’: “Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta’aala telah menyanjung kalian dengan baik me-ngenai bersuci dan mengenai masjid kalian ini. Lalu bagaimanakah cara bersuci yang biasa kalian lakukan?”
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatu. Hanya saja kami mempunyai tetangga Yahudi, dan mereka biasa mencuci dubur mereka dari kotoran, maka kami pun mencuci sebagaimana mereka melakukannya.” Beliau bersabda: “Itulah yang dimaksud. Oleh karena itu, tetaplah melakukannya.”[13]
b. Kata tathahhur (bersuci) dipakai dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mencuci haidh. Lalu beliau pun mengajarinya bagaimana ia ber-suci, beliau bersabda: “Ambillah sepotong kain yang telah diberi minyak kesturi secukupnya lalu bersucilah dengannya.” Ia bertanya: “Bagaimana aku bersuci?” Beliau menjawab: “Bersucilah dengannya!” Ia bertanya: “Bagaimana?” Beliau menjawab: “Subhaanallaah, bersucilah!” Lalu aku (‘Aisyah) menariknya kepadaku, dan mengatakan kepadanya, “Usapkanlah pada bekas darah.”[14]
Jika hal itu sudah diketahui, maka sudah diketahui pula bahwa bersuci itu mencakup lebih dari satu makna. Di antara maknanya ialah mandi, beristinja dengan air dan mengelap bekas darah. Semua itu adalah bersuci (thahaarah).
Ibnu Hazm berkata: “Wudhu’ adalah bersuci, tanpa ada perbedaan pendapat, mencuci kemaluan dengan air juga bersuci, dan mencuci semua tubuh adalah bersuci. Dengan cara apa pun wanita -yang mendapati dirinya telah bersih dari haidhnya- bersuci, maka halal bagi suami -karena bersuci tersebut- untuk mencampurinya, wabillaahit taufiiq.”[15]
Tetapi yang lebih hati-hati adalah pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, yaitu dengan mandinya isteri terlebih dahulu sebelum suaminya mencampurinya, wallaahu a’lam.
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 302) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 2977) kitab Tafsiir al-Qur-aan, an-Nasa-i (no. 288) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 258) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 644) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 11945), ad-Darimi (no. 1053) kitab ath-Thahaarah.
[2]. Menurut penulis ‘Aunul Ma’buud (6/148): “Yang dimaksud dengan hal itu, bahwa wanita mengikatkan kain yang dapat menutupi pusarnya dan apa yang di bawahnya hingga lututnya dan apa yang di bawahnya…, hadits ini menjadi argumen (dari) kalangan (orang-orang) yang berpendapat haramnya bersentuhan pada kulit yang di bawah kain.”
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 303) kitab al-Haidh, Muslim (no. 294) kitab al-Haidh, an-Nasa-i (no. 287) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 267) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 26279), ad-Darimi (no. 1046) kitab ath-Thahaarah.
[4]. HR. Abu Dawud (no. 212) kitab ath-Thahaarah dari Hizam bin Hukaim, dari pamannya, at-Tirmidzi (no. 133) kitab ath-Thahaarah, dan ia menilainya sebagai hadits hasan gharib, dan dalam Nailul Authaar (I/277), dalam hadits tersebut terdapat dua perawi yang shaduq dan yang lainnya tsiqat.
[5]. HR. Muslim (no. 302) kitab al-Haidh dari Anas.
[6]. Lihat takhrij sebelumnya.
[7]. Asy-Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (I/416-417).
[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 135) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 640) dan lihat al-Misykaah (no. 553), Shahiih Abi Dawud (no. 256) dan al-Irwaa’ (no. 197).
[9]. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 123): “Abu Dawud mengatakannya dalam al-Masaa-il (hal. 26).”
[10]. Aadaabuz Zifaaf (hal. 122).
[11]. Ini adalah pendapat Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 125-127), dan ini juga pendapat Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (X/81).
[12]. Asy-Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’ (I/418-419).
[13]. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 128): “Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi.
[14]. HR. Al-Bukhari (no. 314) kitab al-Haidh, Muslim (no. 332) kitab al-Haidh, an-Nasa-i (no. 251) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 314) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 642) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 25024), ad-Darimi (no. 773) kitab ath-Thahaarah.
[15]. Dinukil dari Aadaabuz Zifaaf (hal. 128).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2410-diharamkan-menggauli-isteri-yang-sedang-haid.html